Table of Contents

5 Pantangan yang Ada di Jawa, Masih Dilestarikan hingga Kini – Kepercayaan tradisional Jawa, sebagai warisan budaya leluhur, masih hidup dan bersemi dalam masyarakat modern. Masyarakat Jawa memegang teguh nilai-nilai luhur yang tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. Pantangan, sebagai bagian integral dari kepercayaan Jawa, memiliki peran penting dalam menjaga harmoni dan keseimbangan alam semesta. Lima pantangan utama, yang diwariskan dari generasi ke generasi, terus dilestarikan oleh masyarakat Jawa hingga kini.

Lima Pantangan Jawa yang Tetap Lestari

Masyarakat Jawa memiliki sistem kepercayaan yang kaya dan kompleks, di mana pantangan memegang peranan penting. Pantangan bukan sekadar larangan, tetapi juga pedoman hidup yang bertujuan untuk menjaga keselarasan antara manusia, alam, dan Tuhan. Berikut adalah lima pantangan yang masih banyak dipegang teguh oleh masyarakat Jawa:

5 Pantangan yang Ada di Jawa, Masih Dilestarikan hingga Kini

Source: slideplayer.com

  1. Menyapu Tidak Bersih di Malam Hari: 5 Pantangan Yang Ada Di Jawa, Masih Dilestarikan Hingga Kini

    Pantangan ini melarang aktivitas menyapu lantai secara menyeluruh di malam hari. Masyarakat Jawa meyakini bahwa menyapu bersih di malam hari dapat menghilangkan rezeki atau keberuntungan dari rumah. Debu dan kotoran yang disapu dianggap sebagai simbol rezeki yang seharusnya tidak dibuang begitu saja di saat malam menjelang. Tindakan ini dipercaya dapat mengundang kesialan bagi penghuni rumah.

    5 Pantangan yang Ada di Jawa, Masih Dilestarikan hingga Kini

    Source: storypick.com

    Alasan lain di balik pantangan ini adalah pertimbangan praktis. Pada zaman dahulu, penerangan di malam hari sangat terbatas. Menyapu dalam kondisi minim cahaya berpotensi membuat barang-barang berharga ikut tersapu dan terbuang tanpa sengaja. Selain itu, menyapu di malam hari juga dianggap mengganggu ketenangan lingkungan sekitar.

  2. Duduk di Depan Pintu

    Duduk di depan pintu dianggap sebagai tindakan yang tidak sopan dan dapat menghalangi rezeki yang akan masuk ke dalam rumah. Pintu, dalam kepercayaan Jawa, merupakan simbol gerbang masuknya rezeki dan energi positif. Menghalangi pintu berarti menghalangi datangnya keberuntungan dan kemudahan dalam hidup. Selain itu, duduk di depan pintu juga dianggap mengganggu lalu lintas orang yang akan masuk atau keluar rumah.

    Pantangan ini juga memiliki nilai sosial. Duduk di depan pintu dapat menimbulkan kesan malas dan tidak produktif. Masyarakat Jawa menjunjung tinggi etos kerja keras dan produktivitas. Oleh karena itu, duduk di depan pintu dianggap sebagai tindakan yang kurang pantas dan dapat menimbulkan pandangan negatif dari orang lain.

  3. Menikah di Bulan Suro

    Bulan Suro, dalam kalender Jawa, dianggap sebagai bulan yang sakral dan penuh dengan energi spiritual. Pada bulan ini, masyarakat Jawa lebih fokus pada kegiatan introspeksi diri, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan melakukan ritual-ritual adat. Menikah di bulan Suro dianggap kurang tepat karena dapat mengganggu kekhusyukan dan kesakralan bulan tersebut. Selain itu, ada keyakinan bahwa menikah di bulan Suro dapat membawa kesialan atau kesulitan dalam kehidupan rumah tangga.

    Meskipun demikian, pantangan ini tidak berlaku mutlak. Beberapa keluarga Jawa masih ada yang melaksanakan pernikahan di bulan Suro dengan pertimbangan tertentu, seperti sudah mendapatkan restu dari sesepuh adat atau memiliki perhitungan tanggal yang dianggap baik. Namun, secara umum, menikah di bulan Suro masih dihindari oleh sebagian besar masyarakat Jawa.

  4. Bersiul di Malam Hari

    Masyarakat Jawa percaya bahwa bersiul di malam hari dapat mengundang kedatangan makhluk halus atau roh jahat. Suara siulan dianggap sebagai panggilan yang dapat menarik perhatian makhluk-makhluk tak kasat mata tersebut. Selain itu, bersiul di malam hari juga dianggap mengganggu ketenangan lingkungan sekitar dan tidak sopan.

    5 Pantangan yang Ada di Jawa, Masih Dilestarikan hingga Kini

    Source: toutiaoimg.com

    Pantangan ini juga berkaitan dengan etika dan norma sosial. Pada zaman dahulu, bersiul di malam hari sering dikaitkan dengan kegiatan negatif atau tidak pantas. Oleh karena itu, bersiul di malam hari dianggap sebagai tindakan yang kurang sopan dan dapat menimbulkan pandangan negatif dari orang lain.

  5. Memotong Kuku di Malam Hari

    Memotong kuku di malam hari dianggap dapat memperpendek umur atau membawa kesialan. Masyarakat Jawa percaya bahwa memotong kuku di malam hari sama dengan membuang sebagian dari diri sendiri, yang dapat melemahkan energi vital dan memperburuk kondisi kesehatan. Selain itu, memotong kuku di malam hari juga dianggap kurang praktis karena penerangan yang minim dapat meningkatkan risiko terluka.

    Alasan lain di balik pantangan ini adalah pertimbangan kebersihan. Pada zaman dahulu, alat pemotong kuku belum secanggih sekarang. Memotong kuku di malam hari dengan penerangan yang minim berpotensi membuat kotoran atau bakteri masuk ke dalam luka, yang dapat menyebabkan infeksi. Oleh karena itu, memotong kuku di malam hari dianggap kurang higienis dan dapat membahayakan kesehatan.

Pantangan-pantangan ini, meskipun terdengar sederhana, memiliki makna dan filosofi yang mendalam. Pantangan bukan hanya sekadar larangan, tetapi juga pedoman hidup yang bertujuan untuk menjaga keselarasan antara manusia, alam, dan Tuhan. Melalui pantangan, masyarakat Jawa diajarkan untuk menghormati leluhur, menjaga lingkungan, dan menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama.

Tentu saja, di era modern ini, tidak semua masyarakat Jawa masih memegang teguh pantangan-pantangan tersebut. Namun, sebagian besar masih menghormati dan melestarikannya sebagai bagian dari warisan budaya leluhur. Pantangan tetap menjadi pengingat akan nilai-nilai luhur yang harus dijaga dan dilestarikan demi keberlangsungan budaya Jawa.

Semoga artikel ini memberikan wawasan baru tentang kekayaan budaya Jawa. Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca. Jangan lupa untuk kembali lagi nanti, ya! Siapa tahu ada artikel menarik lainnya yang bisa menambah pengetahuanmu.